Cintai Aku Sampai Maut Memisahkan Kita

Posted By : Posted on - 03.09 with No comments
Malam ini aku pulang terlalu larut, hal ini sengaja aku lakukan agar ketika aku sampai dirumah istriku sudah tidur. Tetapi saat aku membuka pintu rumahku ternyata istriku masih terjaga di ruang tamu, semalaman ia menungguku. Segera setelah melihatku ia mengambil koper kerja yang ada ditanganku, membukakan dasi dan sepatuku dan telah menyiapkan makanan diatas meja makan. Selesai makan aku beranikan diri membuka obrolan dan memegang tangannya dengan lembut dan mengatakan bahwa ada hal yang sangat penting ingin aku utarakan. Dia duduk dan siap mendengarkanku dengan penuh perhatian. Sekali lagi aku melihat kesedihan terlihat di matanya.

Melihatnya demikian aku kesulitan untuk membuka mulut dan mengungkapkan apa yang ingin aku katakan. Tapi aku harus tetap membiarkan dia tahu apa yang aku pikirkan, "aku ingin kita bercerai", aku membuka pembicaraan kami. Mendengar kata yang keluar dari mulutku bahwa aku menginginkan perceraian ia tersenyum dan tanpa merasa terganggu dengan pembicaraanku. Dengan tersenyum istriku menjawab, "Aku mengerti keinginanmu dan aku bisa memberikan apa yang kamu inginkan, hanya yang ingin aku tahu apa alasanmu ingin menceraikan aku".

Cintai Aku Sampai Maut Memisahkan Kita

Tentu aku tidak bisa mengatakan bahwa aku ingin menceraikan istriku bahwa aku memiliki wanita lain di dalam hidupku yaitu rekan kantor di perusahaanku. Aku hanya terdiam dan itu jelas membuaatnya semakin bersedih dan menangis. lalu ia meninggalkanku masuk kedalam kamar kami dan aku masih termenung dimeja makan, dalam hatiku bingung harus melakukan apa lagi, kini aku merasakan hanya mengasihani istriku yang telah memberikanku buah hati yang lucu dan tampan, tidak lagi menyayanginya seperti dulu lagi karena sekarang ada wanita lain didalam hidupku yaitu (sebut saja Jane) sekretarisku.

Dengan perasaan yang amat bersalah, Aku menuliskan surat perceraian yang menyatakan bahwa setelah perceraian kami aku ingin memberikan apa yang menjadi haknya yaitu rumah yang selama ini kami tempati beserta pekarangannya, 2 mobil yang terparkir di garasi kami, 50% uang yang ada di rekeningku dan 30% saham dari perusahaan yang aku dirikan. Ia memandangnya sekilas dan menyobek nyobek kertas surat perceraian tersebut menjadi pecahan kecil-kecil dan membuangnya didepanku. Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun hidupnya bersamaku dan kini aku melihatnya telah menjadi orang asing dalam hidupku. Sebenarnya aku tak tega melihatnya begitu bersedih namun keinginanku untuk segera menikahi Jane semakin membesar dan membuatku terpaksa melakukan hal demikian.

Malam berikutnya aku pulang ke rumah sangat larut dan ketika masuk ke kamar aku melihat istriku sedang sibuk menulis secarik kertas dan aku pun hanya melihatnya sekilas lalu aku tertidur karena seharian ini aku sangat lelah telah menghabiskan banyak waktu dengan Jane. Saat aku terbangun menjelang subuh dan hendak ke toilet aku masih melihat istriku masih menulis dikertas, akupun tidak memperdulikannya dan kembali melanjutkan tidurku. Keesokan harinya aku terbangun dan melihat istriku tampak tertidur disampingku, dan wajahnya yang pucat terlihat karena semalaman tidak beristirahat, sesaat aku teringat apa yang dia tulis semalam dan aku pun penasaran apa yang dia tulis.

Aku membaca sebuah kertas kecil yang ditulis istriku dan menulis keinginannya disecarik kertas tersebut. Didalam tulisan kertas tersebut ia tidak menginginkan apapun dari perceraian kami, ia tidak menginginkan rumah, mobil, rekening maupun saham dariku. Yang diinginkannya sederhana yaitu ingin agar putra kami yang sedang menghadapi ujian kenaikan kelas, melihat kami sebagai orang tuanya hidup rukun dan damai dan terlihat menyayangi satu sama lain hingga anakku menyelesaikan ujiannya sehingga tidak terganggu dengan perceraian kami nantinya setidaknya dalam sebulan. Suatu hal yang sangat sederhana yang diinginkan oleh istriku dan akupun sangat bisa untuk mengabulkan permohonan istriku tersebut.

Pada minggu pertama hal ini aku melakukannya dengan sangat mudah. Dia meminta saya untuk mengingat bagaimana dulu aku membawanya ke kamar pengantin pada hari pernikahan kami. Dia meminta agar setiap hari selama sebulan saya membopongnya keluar dari kamar tidur ke pintu depan sama seperti yang biasa kami lakukan dahulu saat aku akan berangkat bekerja. Aku pikir pikir permintaanya ini terlihat aneh emngingat kami akan bercerai setelah ini, namun karena aku berjanji melakukan segalanya dalam satu bulan ini aku mengabulkan permintaan aneh istriku ini. Bahkan aku sempat menceritakan permintaanku ini kepada Jane dan ia hanya tertawa dengan keras dan mengatakan " Lakukan saja apa permintaanya, itu hanya sebulan dan saya yakin kamu bisa melakukannya".

Minggu minggu awal ini diisi permintaan istriku sama halnya ketika kami menikah dahulu. Aku selalu membopongnya keluar dari kamar tidur kami menuju pintu depan untuk melihat anakku berangkat sekolah dan menunggu bus jemputannya sedang aku bergegas untuk segera berangkat ke kantor. Jadi ketika saya membopongnya pertama kali setelah sekian lama tidak saya lakukan keluar pada hari pertama, kami merasa kikuk. Anakku menepuk punggung kami, dan tersenyum melihat aku membopong istriku dan berkata "Ayah dan ibu mesra sekali dan aku sangat senang melihatnya" Kata-katanya membuatku merasa sakit. Istriku memejamkan mata dan berkata dengan lembut, tolong jangan memberitahu anak kita tentang perceraian. Aku mengangguk, dan melihat anakku naik bus jemputannya. Aku sendiri selanjutnya pergi ke kantor dan sebelumnya mengecup kening istriku sama seperti keinginannya.

Pada minggu kedua, bagi kami terasa lebih mudah melakukannya hal hal yang dulu pernah kita lakukan di awal awal pernikahan. Hal hal romantis yang sudah lama tidak kami lakukan. Sama seperti minggu pertama aku membopongnya keluar dari kamar tidur. Ia merebah di dadaku. Aku bisa mencium wangi di bajunya dan melihat senyumannya yang begitu manis. Saya menyadari bahwa saya tidak melihat istriku seperti ini untuk waktu yang lama. Aku melihat bahwa ia tidak muda lagi, ada kerutan halus di wajahnya, rambutnya pun mulai memutih bahkan tubuhnya pun mulai terlihat semakin kurus! Pernikahan kami yang telah berjalan cukup lama hampir 10 tahun. Untuk beberaa saat aku bertanya-tanya apa yang telah kulakukan padanya.

Pada minggu ketiga, hal hal yang biasa kami lakukan dahulu saat awal awal menikah seperti yang kami lakukan sekarang ini telah menumbuhkan keintiman kembali. Aku mulai berpikir inilah wanita yang telah memberikan sepuluh tahun hidupnya kepadaku, yang telah memberikanku putra yang lucu dan imut, yang setia menemaniku saat suka dan duka, yang setia menunggu dan melayaniku saat aku pergi bekerja. Di minggu ketiga ini, aku mulai menyadari bahwa rasa keakraban yang hilang mulai tumbuh lagi. Tentu saja aku tidak memberitahu Jane tentang hal ini.

Suatu pagi istriku sedang berdandan dan memilih pakaian yang cocok agar terlihat cantik didepanku. Dia mencoba beberapa gaun tapi tidak bisa menemukan gaun mana yang cocok. Aku melihatnya dari kejauhan lalu ia menghela napas panjang, semua gaun istri ku kelihatan lebih besar. Aku tiba-tiba menyadari bahwa selama ini tubuh istriku semakin kurus sehingga pakaian yang dikenakannya kelihatan lebih longgar, itulah kenapa alasan aku bisa membopongnya dengan ringan. Tiba-tiba aku tersadar. Dia telah mengubur begitu banyak rasa sakit dan kepahitan dalam hatinya. Tanpa sadar aku mendekatinya, menggenggam tangannya, membelai rambut dan mencium keningnya.

Anakku masuk pada saat tersebut dan wajah bahagia terpancar diwajahnya dan berkata, "Ayah saatnya untuk membawa ibu keluar". Baginya, melihat Ayahnya sedang membopong ibunya keluar menjadi bagian penting dari hidupnya. Istri saya memberi isyarat untuk anak kami untuk mendekat dan memeluknya erat-erat. Aku membalikkan wajah sebab aku takut aku akan berubah pikiran pada menit-menit terakhir ini. Saya kemudian memeluknya, berjalan dari kamar tidur, melewati ruang duduk ke teras. Tangannya memegangku secara lembut dan menyangga tubuh istriku yang lemah dan kurus itu.

Pada minggu ke empat atau minggu terakhir seperti permintaan istriku, ketika aku memeluknya dalam pelukanku aku hampir tidak bisa bergerak selangkah, aku sangat merasakan kenyamanan yang telah selama ini hilang dan rasanya aku tidak ingin melepaskan pelukanku ini. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku memeluknya erat-erat dan berkata, aku tidak menyadari bahwa kehidupan kami begitu mesra.

Pada minggu ke empat ini aku berubah pikiran, dalam hatiku aku tidak akan menceraikan istriku. Aku pergi ke kantor terlambat karena menemui Jane dan mengutarakan keinginanku untuk tidak menceraikan istriku. Aku berjalan ke lantai atas. Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, "Maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan istriku." Jane menatapku dan kemudian menyentuh dahiku. Apakah kamu baik baik saja? Katanya. Aku memindahkan dan melepaskan tangannya dari kepalaku. "Maaf Jane saya tidak ingin bercerai. Kehidupan rumah tanggaku terasa membosankan aku tidak menghargai setiap momen yang berjalan di kehidupan kita, bukan karena kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang saya menyadari bahwa yang aku lakukan salah, seharusnya aku bisa menghargai setiap waktu yang tuhan berikan kepadaku dalam pernikahan kami dan seharusnya aku memeluknya sampai kematian memisahkan kita.

Jane tampaknya marah mendengar ucapanku kemudian membanting pintu dan menangis. Aku pergi menuju kantor dan mengatakan pada staf ku bahwa hari ini aku ingin cepat pulang untuk merayakan 10 tahun pernikahan kami, para staf dan karyawan menyalamiku dan memberikan ucapan selamat. Aku bergegas pulang dan beberapa blok sebelum rumahku aku sempatkan membeli beberapa ikat bunga kesukaan istriku. Gadis penjualan bertanya apa yang hendak aku tulis pada kartu ucapan. Aku tersenyum dan menulis, "Aku akan menyayangimu dan membopongmu setiap pagi sampai kematian memisahkan kita".

Hari itu aku tiba di rumah, saya mencium bunga di tangan saya, senyuman di wajah saya, saya berjalan naik tangga dan bersemangat untuk menemui istri tercinta dikamar tidur kami. Sampai dikamar saya melihat istriku tidur sambil tersenyum, dan ketika aku mencium dan memegang tubuhnya dingin sedingin es, dan aku tersadar bahwa istriku telah meninggal. Ternyata istriku telah melawan kanker selama berbulan-bulan dan sya tidak menyadari hal itu karena aku terlalu sibuk dengan Jane. Dia tahu bahwa hidupnya tidak akan lama lagi sehingga ia meminta keinginan untuk merasakan pernikahan kami yang bahagia di hari hari terakhirnya dan ingin menyelematkanku dari penilaian anakku jika aku jadi menceraikan istriku. Setidaknya, di mata putra kami aku adalah suami yang penuh kasih.

"Hargailah setiap momen yang terjadi dalam pernikahan anda. Kebahagiaan dalam pernikahan tidak selalu tentang materi, rumah, mobil, atau seberapa banyak uang di bank. Hargai dan lakukan setiap hal kecil yang terjadi dalam sebuah hubungan pernikahan untuk membangun keintiman dalam hubungan pernikahan yang bahagia."

G+

Jika Anda merasa Artikel di blog ini berguna dan mencerahkan, Silahkan share di media sosial melalui tombol diatas agar membantu pembaca lain tercerahkan, Atau jika artikel ini bermanfaat silahkan muat ulang namun hargailah dengan menempatkan link web blog ini, Menghargai karya orang lain sama halnya menghargai diri Anda sendiri,Terima kasih!
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar